Tual, Liputan 21.com — Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, publik dikejutkan oleh maraknya pengibaran bendera bergambar simbol bajak laut ala One Piece di sejumlah daerah. Simbol yang berasal dari dunia animasi Jepang ini kini menjelma menjadi tren viral di kalangan anak muda, bahkan muncul dalam suasana sakral seperti perayaan kemerdekaan.
Apa yang tampak sebagai ekspresi budaya populer sesungguhnya menyimpan persoalan serius. Di balik popularitasnya, simbol tersebut membawa pesan anti-otoritas, pemberontakan terhadap sistem, dan pelecehan terhadap lambang negara. Penggunaan simbol bajak laut dalam konteks kenegaraan bukan lagi soal tren, melainkan bentuk infiltrasi budaya asing yang berpotensi merusak nasionalisme dan kesadaran ideologis generasi muda.
Fenomena ini memicu kecaman dari berbagai kalangan, termasuk dari pakar hukum tata negara yang menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran konstitusi dan penghinaan terhadap kedaulatan negara.
King Faisal: Sah Saja Selama Tidak Melecehkan Merah Putih dan Tidak Bernuansa Makar
Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM., pakar hukum tata negara dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menegaskan bahwa ekspresi budaya dan kreativitas komunitas merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, selama tidak disalahgunakan untuk melecehkan simbol negara atau merusak kesakralan momen kenegaraan.
“Kalau hanya sebatas ikut tren anak muda, ekspresi komunitas, atau motif hiburan, itu sah-sah saja. Bisa jadi hanya euforia gaya hidup penggemar One Piece, dan itu masih dalam batas wajar. Anggap saja ada sekelompok komunitas anak muda, terutama yang ingin merefleksikan perayaan 17 Agustus dengan cara yang nyentrik agar tampil beda. Itu bukan masalah selama tidak menyimpang dari nilai-nilai nasionalisme,” ujarnya.
Namun ia mengingatkan, jika penggunaan simbol seperti itu bermuatan politis, mengarah pada upaya menyaingi bendera Merah Putih, atau disertai niat menghina pemerintah dan ideologi negara, maka hal tersebut jelas melanggar hukum.
“Intinya, selama tidak ada unsur makar, tidak bermaksud melecehkan Merah Putih sebagai identitas nasional, dan tidak mengandung niat menghina pemerintah Indonesia, maka ekspresi itu bisa dimaklumi dalam batas kewajaran. Tapi negara tetap tidak boleh lengah,” tegasnya.
Faisal merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang secara tegas melarang tindakan merendahkan, menggantikan, atau menandingi bendera Merah Putih, terutama dalam konteks publik dan kenegaraan. Menurutnya, simbol negara adalah bagian dari martabat konstitusional yang harus dilindungi.
“Negara tidak boleh membiarkan simbol asing menggantikan atau disejajarkan dengan simbol resmi negara. Ini bukan hanya soal aturan hukum, tapi menyangkut kesadaran ideologis dan kehormatan nasional,” tandasnya.
Ia mengingatkan, dalam konteks pertahanan ideologi, serangan tidak selalu berbentuk senjata.
“Perang zaman sekarang telah bergeser. Musuh tidak selalu datang dengan senjata, tapi melalui simbol, budaya, dan opini publik. Ketika simbol asing mulai mendominasi suasana kenegaraan, itu adalah tanda bahwa pertahanan ideologi kita sedang melemah. Bila ini terus dibiarkan, semangat nasionalisme generasi muda akan terkikis dari dalam,” ujarnya.
Salim Nuhuyanan: Infiltrasi Budaya Populer Bisa Jadi Uji Kekuatan Ideologi Bangsa
Sementara itu, Salim Nuhuyanan, S.H., menyoroti persoalan ini dari sudut pandang intelijen. Menurutnya, pengibaran simbol bajak laut tidak bisa dilihat sekadar sebagai fenomena viral, tetapi bisa menjadi indikator adanya penyusupan budaya untuk menguji daya tahan ideologi bangsa.
“Ini bukan semata soal anak-anak muda yang ikut tren. Bisa saja ada aktor asing yang sedang menguji bagaimana negara merespons simbol-simbol penyusup. Pola seperti ini sering digunakan untuk membaca kelemahan ideologi dan ketahanan budaya nasional,” ujarnya.
Salim menambahkan, saat ini serangan terhadap negara tidak hanya menyasar batas wilayah fisik, tetapi juga batas ideologis dan budaya masyarakat.
“Kita harus segera sadar bahwa bentuk ancaman modern bersifat halus, menyusup lewat budaya, simbol, dan media sosial. Simbol bajak laut seperti ini bisa menjadi alat uji, dan jika dibiarkan, akan melemahkan imunitas ideologis bangsa,” tutup Salim.
0 Komentar